Tapi bukan rasa itu yang aku tidak suka, aku sebetulnya merasa amat tidak nyaman bila aja mata pisau yang berkilat itu harus berada dengan dengan jari-jari aku. Pisau itu harus berjalan perlahan tapi kuat dan di sini masalah aku. Aku tidak mampu memberi kawalan terhadap pisau itu kerna buah yang licin lagi besar itu. Jadi, seringkali jari-jari aku terhiris sama. Aku sempat melihat pisau itu perlahan mengoyak kulit aku dan terdedah isinya yang putih. Kemudian ia bertukar merah terus merah tadi keluar menitik. Warna merah itu cukup segar lagi manis. Aku dengan segera mengambil kain-kain perca ibu aku untuk membalut luka itu. Aku tidak suka itu dan akhirnya, ibu aku yang akan mengambil alih kerja aku tadi. hehehe.
Ketika itu, ketika aku udah semakin biasa dengan pisau juga buah, aku kira aku udah hilang rasa tidak nyaman itu, namun ia tetap masih ada di hati aku. Aku masih lagi takut-takut untuk mengupas buah biar aku udah punyai genggaman yang pasti juga fokus yang lagi tertumpu. Aku kira rasa ketika aku masih kecil, tetap sama ketika ini dan ini adalah sesuatu yang asli. Tidak langsung berubah. Mungkin sebab itu aku jarang untuk membeli buah-buah yang harus di kupas.
Sebetulnya aku tidak pasti dengan perasaan aku. Sama ada aku tidak nyaman dengan luka yang aku terima , atau aku sebenarnya tidak nyaman dengan rasa semasa aku cuba mengupas buah itu. Ia aku kira dua hal yang berbeda. Tapi aku sering aja salah mengertikan keduanya. Aku lebih senang untuk mengakui bahwa kita takut dengan rasa sakit yang akan kita peroleh dari tangan yang udah terhiris. Kerna ia perkara nampak. Kita nampak darah itu.
Tapi jika aku mahu lebih untuk melihat jauh dalam perasan aku, aku sebetulnya rasa tidak nyaman dengan rasa takut semasa mengupas buah itu. Kerna aku coba untuk menahan diri kita dari melukai diri sendiri. Rasa tidak nyaman kerna tidak punyai kuasa kawalan yang penuh tapi masih mahu mencoba untuk itu. Walau pun aku menitis kan darah, akhirnya aku masih bisa mengupa buah itu dan terus melahapnya, ia cukup nkmat...sehinggalah isi manis itu habis dan aku harus mengupas sebiji lagi. Rasa itu kembali hadir dan aku teragak-agak.
Namun, ketika aku tetap merasa ketika aku udah lebih lagi dewasa, aku perkirakan rasa itu tidak akan aku alami lagi. Sehinggalah pada satu hari aku bertemu dengan seorang gadis dan aku jatuh cinta dengan dia. Rasa itu kembali hadir. Aku kembali merasakan rasa tidak nyaman itu. Biar cinta yang aku akan peroleh, lagi aku genggam ini manis isinya.
Tapi untuk merasa isi manis itu harus aku kupas-kupas dulu kulit kasar buah cinta itu. Seumpama waktu kecil aku dulu, rasa itu kembali hadir. Aku bingung sebetulnya. Bagaimana aku bisa membandingkan cinta wanita itu seperti buah yang aku kupas ketika aku kecil. Aku perkirakan ia tidak sama dari segi zahir. Tapi dari segi corak dan rasa, ia memberi sesuatu yang terliat sama. Cinta itu juga seperti buah, harus di petik dengan lembut, kemudian di kupas dengan lancar hanya untuk mendapat isinya yang manis. Cuma cinta lagi jauh, kerna setelah isi manis itu habis, biji yang tertinggal kita harus tanam demi untuk melahirkan sebuah pohon cinta yang agung dan menerbitkan lebih banyak buah yang manis, jangan berulat.
Tapi kenapa aku harus mengupas buah cinta itu? Kerna untuk aku memastikan benih yang akan aku tanam itu bagus. Buahnya tidak rusak di dalam juga tidak berulat. Tapi buah yang rusak juga berulat tidak semestinya menumbuhkan pohon yang rusak. Malah ia bisa menumbuhkan pohon yang lagi subur, dengan syarat aku mahu membersih ulat yang ada dalam buah itu.
Jadi untuk proses itu, aku kira sama ja dengan mengupas buah yang sebenar. Kerna aku walau pun udah mengenggam buah itu tapi aku tidak punyai genggam yang kuat kerna buah itu terlalu besar. Tapi aku harus lagi mengupas kulit buah itu untuk merasa isinya. Samada ia manis, jujur atau ngak. Juga untuk mendapat benih yang bagus. Tapi aku juga perlu bermain risiko, bermain dengan pisau. Tajam.
Ketika itu aku perlu hati-hati menghiris, agar tidak ada yang terlebih sentuh. Juga supaya ia tetap cantik. Tapi ketika itu juga kau harus sedar aku akan bisa terluka kerna kawalan yang kurang dengan buah cinta itu. Aku kembali merasa tidak nyaman. tapi aku harus menghabisi apa yang udah aku mulai. Jangan pernah undur. Biar isi akan aku perolhe punyai ulat, tapi yang penting benih buah itu yang harus aku tanam demi menumbuhkan sesutu yang lagi cantik.
Aku tidak pasti mau mendapatkan kain dari mana untuk membalut luka yang akan aku tanggung. Dari ibu? tidak lagi. Namun seprti yang aku bilang, aku harus menghabisi apa yang aku mulai. Biar aku terluka juga aku peroleh buah yang isinya ngak manis, aku tetap akan menghabisi nya kerna aku yakin, biar bagaimana pun buah itu, biji buah yang akan jadi benih itu tetap suci juga biasa cemerlang.
Namun sehingga hari ini rasa tidak nyaman itu tetap aja berada di hati aku. Kerna aku harus berkira, sama ada aku perlu berani memperoleh satu lagi cinta yang perlu di kupas atau aku biar aja ia busuk atau aku biar sesiapa tolong kupaskan untuk aku kerna ibu udah tidak ada lgi untuk menolong aku.. dan saat ini aku kembali mengenang saat kecil aku
Tapi bukan rasa itu yang aku tidak suka, aku sebetulnya merasa amat tidak nyaman bila aja mata pisau yang berkilat itu harus berada dengan dengan jari-jari aku. Pisau itu harus berjalan perlahan tapi kuat dan di sini masalah aku. Aku tidak mampu memberi kawalan terhadap pisau itu kerna buah yang licin lagi besar itu. Jadi, seringkali jari-jari aku terhiris sama. Aku sempat melihat pisau itu perlahan mengoyak kulit aku dan terdedah isinya yang putih. Kemudian ia bertukar merah terus merah tadi keluar menitik. Warna merah itu cukup segar lagi manis. Aku dengan segera mengambil kain-kain perca ibu aku untuk membalut luka itu. Aku tidak suka itu dan akhirnya, ibu aku yang akan mengambil alih kerja aku tadi.
No comments:
Post a Comment