Sunday, April 20, 2008

Sufiah dan cinta Dede si manusia pokok

“Sekiranya nanti Sufiah jatuh, aku harap dia tidak jatuh dari jambatan Golden Gate,” kata teman saya seorang lelaki berambut afro.


Petang itu kami bertiga. Duduk rehat di bawah pohon kenanga. Sekali-sekala santai di bawah pohon kenanga sambil menghirup angin petang adalah suatu nikmat. Lebih-lebih lagi pada saat bunga kenanga sedang mewangi.


“Mengapa?” tanya seorang lagi teman saya. Seorang lelaki yang rambutnya disisir tengah.


“Golden Gate itukan tempat bunuh diri yang popular di Amerika. Aku pernah menonton dokumentari berkenaan hal itu. Kata seorang mangsa yang terselamat, saat dia sudah melepaskan genggaman tangannya pada konkrit jambatan, saat itu barulah dia sadar satu hal yang semua masalah di dalam dunia ini bisa diselesaikan, tetapi sudah terlewat kerna tangan sudah terlepas,” kata teman saya yang berambut afro itu.


Petang itu selain rehat-rehat di bawah pohon kenanga, kami juga bicara hal sensasi. Bicara segala. Dan yang paling saya ingat adalah bicara berkenaan Sufiah. Perempuan cantik yang dikatakan genius, ada juga mengatakan dia hanya prodigy. Tetapi yang utama, dia lepasan Oxford dan cantik. Malah lebih cantik berbanding beberapa artis di Malaysia.


Teman saya yang berambut afro itu percaya Sufiah sekarang bukan berada pada puncak gelapnya. Malah lebih berani mengatakan Sufiah berada pada puncak populariti. Lalu atas dasar itu dia berharap sekiranya Sufiah jatuh, jangan dia jatuh dari Golden Gate ataupun dari mana-mana. Jangan menjadikan ia jalan terakhir. Kerna ia adalah puncak gelap.


Saya yang banyaknya berdiam diri, tersenyum. Saya berpaling pula pada teman yang rambutnya disisir tengah. Dia lelaki yang serius dan keseriusannya jelas terpamer pada wajahnya. Jelasnya seperti jelasnya ikan yang meliuk di dalam air yang jernih. Dia pula percaya satu hal, Sufiah sebenarnya hanya punyai masalah dalam seks. Dia punyai libido yang tinggi. Ini berdasarkan kenyataan Sufiah sendiri yang mengaku dia gembira atas apa yang terjadi pada dirinya. Tiada lagi masalah seks yang membosankan.


Aneh. Teman saya yang serius itu memikirkan hal seperti itu. Tetapi kedua-dua teman saya itu bertemu juga pada satu titik kesamaan. Sufiah masih percaya Tuhan itu ada. Tetapi dia mulai percaya yang Tuhan itu hanya ada pada masa dia kecil anak. Dan saat dia dewasa, dia percaya yang Tuhan membiarkan dia sendiri menyelesaikan masalahnya. Lalu terserah dia untuk berbuat apa yang dia suka.


Dan mereka juga percaya, sekarang selain doa untuk Sufiah. Harus ada jalan yang konkrit bagi menyadarkan dia kembali. Menyadarkan yang setiap masalah ada penyelesaiannya.


“Husam, ahli politik katanya mahu ke sana, membawa Sufiah kembali percaya Tuhan itu tidak pernah lalai memerhati hamba-Nya. Mashitah juga begitu,” kata teman saya yang rambutnya Afro.


“Saya fikir, orang yang paling cocok ke sana bertemu Sufiah bukannya ahli politik. Tetapi Dede si manusia pokok,” balas teman saya yang rambutnya disisir tengah.


“Mengapa?” tanya saya. Untuk pertama kalinya saya membuka mulut.


“Kerna Dede itu adalah manusia yang paling betul jika mahu bicara soal derita. Ditinggalkan oleh isteri dan dijauhi warga desa hanya kerna tubuhnya ditumbuhi ketuat yang luar biasa. Malah dia juga menjual tubuh dengan menyertai sarkas jalanan. Tetapi sekiranya Sufiah dapat sambutan dengan menjual tubuh, tetapi Dede malah dihina. Dan di sana nanti Dede bisa menceritakan tiga perkara kepada Sufiah. Pertama, dia masih percaya Tuhan itu ada bagi mendengar rintihannya dan dia tidak pernah jemu berdoa. Kedua, Dede juga bisa menakutkan Sufiah dengan fiziknya. Setidak-tidaknya Sufiah bersyukur dengan apa yang dia ada dan sedar dia bisa juga seperti Dede sekiranya Tuhan mahu. Dan yang terakhir, kerna Sufiah mahu seks yang tidak membosankan, pasti Dede yang aneh itu bisa menyediakan hubungan yang tidak membosankan. Dede bisa bernikah dengan Sufiah. Lalu mereka bisa meninggalkan Kota London yang tinggi tuntutan ekonominya. Sufiah bisa ke Indonesia dan bekerja di mana-mana yang dia suka lalu peroleh uang yang banyak. Asal sahaja ia halal. Di sana dia bisa hidup kaya dan tenang. Malah tidak membosankan. Yang penting Dede bisa membisikkan pada Sufiah, setiap masalah itu ada penyelesaiannya. Dan semuanya tampak sempurna,” terang teman saya yang rambutnya disisir tengah itu.


Saya diam sambil hidung saya enak mencium wanginya bunga kenanga. Teman saya yang berambut afro itu mengaru kepalanya. Mungkin ada organisma ataupun reptilia yang tersesat. Kami berdua aneh dengan cadangan teman saya yang rambutnya disisir tengah. Dia sebenarnya bercanda ataupun serius? Lalu kami kembali memerhati wajahnya, masih seperti tadi, serius. Uh.



4 comments:

Lily Abdullah said...

Salam Dingin,

Anda menulis tentang Sufiah tanpa menghukum

Kebanyakan kita selalu bersifat menghukum seolah kita saja yang maksum.

Atiey MN said...

tulisan ini buat sya berfikir...berfikir yg bnyak.
keep writing bro (^_^)

Unknown said...

waterlily,
aku lagi membenci orang yang bersifat kelihatan tidak menghukum. Tetapi sebenarnya dia menghukum.

Menghukum dalam diam.

org ini tidak boleh dipanggil sbg prodigy. tetapi paranoia.

Kalau tak pun,

progeny.

Anonymous said...

Your blog keeps getting better and better! Your older articles are not as good as newer ones you have a lot more creativity and originality now keep it up!